Tulisan ini diambil dari naskah buku panduan jurnalisme daring yang sedang saya buat.
Pemakaian bahasa yang baik adalah keunggulan utama jurnalis. Jurnalis sudah seharusnya unggul dalam menggunakan tulisan daripada kelompok profesi lain. Ini sudah lama diketahui secara luas di negara maju. Bila ingin sekolah jurnalisme (dan juga komunikasi) di Amerika Serikat, skor TOEFL kita harus lebih tinggi daripada jika ingin mendaftar ke jurusan sosiologi, politik, ekonomi, dan lainnya. Bahasa adalah senjata utama orang komunikasi, terutama jurnalisme.
Apa itu prinsip dalam menulis nonfiksi?
Secara prinsip, cuma ada dua.
Pertama, menulis secara baik dan efisien.
Baik itu berarti mudah dimengerti, masuk akal, sistematis, mengikuti etika, dan mengikuti aturan tata bahasa. Jadi, baik juga berarti benar.
Efisien di sini berarti menulis secara singkat dan padat makna.
Kalimat yang tidak singkat adalah sebuah kalimat yang jika salah satu katanya dihilangkan, pesan kalimat itu tetap sama. Penulis nonfiksi yang baik bisa melucuti semua kata yang tidak memiliki fungsi di dalam kalimatnya.
Padat makna berarti setiap kalimat dalam tulisan itu memiliki satu atau lebih makna yang mudah dimengerti. Jangan sampai ada kalimat yang hanya mengulang pesan yang sudah disampaikan kalimat lain. Jangan sampai ada kalimat yang tidak menyampaikan nilai berita (penting dan menarik) atau kalimat klise.
Yang terakhir, karena kita menulis dalam bahasa Indonesia, kita harus menyusunnya sesuai aturan baku bahasa Indonesia. Jangan pula menggunakan kosa-kota bahasa asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa tanah air.
Kedua, kemampuan merangkum yang baik.
Semua tulisan (narasi) sesungguhnya adalah rangkuman data. Data ini bisa berupa pengamatan, pemikiran, perasaan, atau fakta dalam bentuk apa pun. Jadi, kemampuan merangkum sangat penting. Tugas wartawan sejatinya adalah merangkum peristiwa atau rangkaian peristiwa dan tanggapan orang terhadapnya.
Merangkum adalah kecakapan khas dalam jurnalisme, yang membuat penulis bisa menyusun laporan padat dari rangkaian peristiwa kompleks atau laporan panjang, bahkan yang paling tidak sistematis sekalipun.
Sesungguhnya, dua kecakapan jurnalistik itu berguna untuk berbagai pekerjaan lain yang berhubungan dengan media dan situs web. Banyak teman kuliah saya di Boston yang setelah lulus ingin bekerja sebagai pegawai humas atau pemasaran. Ini karena industri di AS tahu bahwa lulusan sekolah jurnalisme adalah orang yang cakap menulis, merangkum, dan membuat laporan multimedia untuk beragam topik.
Setelah dua kemampuan pokok yang berlaku umum itu, kita bisa mempelajari kemampuan menulis secara indah.
Sayangnya, di Indonesia, banyak orang memaknai “orang yang bisa menulis” adalah orang yang bisa menulis dengan kata-kata indah atau “penuh bunga”, entah strukturnya benar atau tidak. Padahal menulis dengan indah, dalam bahasa Inggris disebut prose, adalah kemampuan sekunder atau pemanis. Yang harus ada adalah bisa menulis secara baik dan efisien.
Orang bisa mendebat bahwa menulis indah adalah sebentuk penulisan kreatif, yang juga penting dalam jurnalisme. Tapi, jika kita kuliah jurusan creative writing di negara seperti AS, kemampuan pertama yang akan diajarkan adalah menulis secara baik dan efisien. Setelah banyak berlatih dan mahir, pelajaran selanjutnya adalah menulis dengan indah, entah untuk cerita pendek, novel, atau puisi.